... ...
Senin, Desember 8, 2025
IKLAN ADA DISINIspot_img
BerandaBeritaPendidikanUniversitas Amir Hamzah Medan, Merupakan Legacy Radja Syahnan Membangun Kesadaran Pendidikan Rakyat...
CSS Marquee Effect Example

SELAMAT DATANG DI WEBSITE BERITA GARISDATA.COM IKUTI KAMI UNTUK MENGETAHUI PERKEMBANGAN BERITA DAERAH ANDA

spot_img

Universitas Amir Hamzah Medan, Merupakan Legacy Radja Syahnan Membangun Kesadaran Pendidikan Rakyat Kelas Bawah.

Garisdata.com – Medan, Sumut.
Di antara gedung – gedung Pendidikan di Medan, berdiri sebuah universitas yang nama nya mengandung nama sastra dan perjuangan : Universitas Amir Hamzah Medan ( UNAHAN ) didirikan bukan sekedar untuk mencetak sarjana, melainkan untuk menghidupkan warisan Intelektual pahlawan nasional Teungku Amir Hamzah, sang “Penyair Kerajaan” yang puisi nya menembus batas zaman.

Perihal ini diketahui dari Narasumber Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, S.H., yang mengirimkan keterangan Persnya kepada Redaktur Media garisdata.com pada Rabu,(19/11/2025)

Berdasarkan penjelasan didalam pesan WhatsAppnya, Pendiri Universitas ini tidak muncul dari ruang hampa, Ia adalah hasil kolaborasi antara Gubernur Sumatera Utara dan Ketua DPRD saat itu, Raja Syahnan, yang memiliki visi agar Sumatera Utara memiliki lembaga pendidikan berbasis nilai perjuangan dan kebudayaan Melayu. Dari tangan merekalah lahir satu tonggak sejarah : pendidikan tinggi yang berakar dari tanah rakyat untuk rakyat.” Seperti yang dituliskan M.Taufik Umar Dani Harahap kepada Redaktur Media ini.

Menurutnya , “Tulisan ini menggali jejak historis pendirian Universitas Amir Hamzah, menelusuri perjalanan panjang nya dari idealisme awal hingga tantangan pengelolaan aset, serta menilai dampak nya terhadap memori kolektif masyarakat Sumatera Utara.”urainya

Kemudian dijelaskannya, “Pendirian Universitas Amir Hamzah terlahir dari keputusan strategis pemerintah daerah pada masa Gubernur E.W.P Tambunan. Dalam konteks Pembangunan sosial, pemerintah mendistribusikan eks- HGU No.1 Kebun Medan Estate —- milik lama PTPN lX yang tidak di perpanjang—- untuk fungsi sosial dan pendidikan, Distribusi ini tidak hanya kepada UNAHAN, tetapi juga kepada beberapa lembaga strategis seperti UNIMED (dulu IKIP Negeri Medan), UINSU ( dulu IAIN Sumut), Universitas Medan Area, KONI Sumut, RS Haji dan PGI wilayah Sumut.”Imbuhnya

Lanjut nya, “Keputusan Gubernur yang menyatakan bahwa tanah tersebut hanya boleh di gunakan sesuai peruntukan sosial dan pendidikan. Kalau soal hukum dan SK Gubsu sangat tegas : apabila tanah dipergunakan sesuai dengan peruntukan, maka penerima manfaat wajib mengembalikan nya kepada negara, Artinya, hak atas tanah ini bersifat “land to use” hak pakai untuk tujuan sosial, bukan untuk di komersialkan”Pungkasnya

Lanjut nya lagi, “Raja Syahnan bukan hanya sekedar tokoh militer, politisi,sas melainkan Intelektual yang menyalakan obor kesadaran pendidikan di Sumatera Utara. Ia memahami bahwa kemajuan bangsa bukan terlahir dari pidato, tetapi dari ruang – ruang kuliah yang membebaskan pikiran rakyat kecil. Ditangannya, gagasan mendirikan Universitas Amir Hamzah bukan proyek politik, melainkan proyek peradaban : menghadirkan Universitas bagi anak kampung yang harus ilmu, bukan bagi elite yang mencari gengsi Akademik, Visi nya menembus batas normal bagi pendidikan. Bagi Raja Syahnan, unversitas adalah simbol emansipasi bagi masyarakat Melayu dari keterpinggiran struktural dan kultural. Ia melihat pendidikan sebagai alat pembebasan—–bukan sekedar jalan mobilitas sosial, tetapi sarana pembangunan kolektif tentang siapa diri bangsa ini. Visi itu berkeadilan dan dengan semangat Amir Hamzah: menulis, berpikir , dan berkorban demi martabat bangsa.” Tulis M.Taufik Umar Dani Harahap, SH, yang juga merupakan seorang Pengacara (Advokat) di Medan Sumut.

Lebih lanjut, Ketegasan moral nya terekam dalam sejarah lokal.Dalam satu kesempatan, Raja Syahnan berujar lantang,” Jika Universitas Amir Hamzah ini tidak mampu lagi dikelola dengan baik, maka harus di kembalikan ke negara. Jadikan lah ia universitas negeri”. Kalimat itu bukan jawab. Ia menolak menjadi ilmu pengetahuan sebagai komoditas prifat; baginya universitas adalah amanah publik yang harus di kembalikan kembali kepada rakyat bila kehilangan idealisme pendirian nya. Pernyataan itu kini bergema sebagai peringatan moral. Ditengah krisis tata kelola dan di tengah komersialisasi pendidikan, pandangan Raja Syahnan menjadi refleksi tajam tentang makna tanggung jawab sosial universitas.Ia telah menanamkan ilmu sejati tidak boleh di kuasai oleh segelintir orang , melainkan menjadi harus milik bangsa.Dalam konteks ini lah, cita – cita mewujutkan Universitas Negeri Amir Hamzah Medan bukan sekedar mimpi administratif, tetapi upaya melanjutkan amanah sejarah—-agar pendidikan kembali berpihak kepada rakyat, sebagaimana di kehendaki pendirinya.”ujarnya

Kata dia, “Pemberian nama Universitas Amir Hamzah bukan sekedar penetapan administratif, melainkan pernyataan idiologis. Dibaliknya terkandung kesadaran historis bahwa pendidikan tidak pernah netral dari nilai – nilai. Ia adalah monumen kebudayaan yang menegaskan akar sosial dan spiritual masyarakat yang melahirkannya. Dengan menempatkan nama Amir Hamzah sebagai panji, universitas ini menegaskan posisinya: pendidikan tinggi harus menjadi ruang kelahiran kembali peradaban Melayu yang beradab, regilius, dan nasionalis.

Seperti diketahui bersama, Amir Hamzah (1911- 1946) bukan hanya penyair Pujangga Baru, melainkan simbol dialektika antara Timur dan Barat. Dalam puisinya yang sarat religiositas dan kerinduan pada tanah air, ia menggambarkan kegelisahan manusia modernitas. Ia gugur sebagai martir revolusi, menjadikan sosoknya cermin ideal bagi generasi muda : Intelektual yang berpikir global namun berpijak pada nilai lokal. Maka, universitas yang mengusung namanya mengemban misi ganda—-mendidik dan menjaga martabat budaya.

Kata M.Taufik Umar Dani Harahap, SH yang juga praktisi hukum tersebut, “Penamaan ini sekaligus strategi membangun identitas pendidikan berbasis kultural. Ditengah arus universitas yang pragmatis, Universitas Amir Hamzah tampil sebagai simbol perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan. Ia mengingatkan bahwa kampus bukanlah korporasi, melainkan rumah kebudayaan yang menumbuhkan jiwa, bukan sekedar mengejar angka kelulusan. Visi ini menjadi kekuatan moral yang membedakan UNAHAN dari sekedar pencetak ijazah. Dalam kerangka teori Maurice Halbwachs tentang memori kolektif, penamaan universitas semacam ini menciptakan “ruang sosial ingatan”—– tempat masyarakat menambahkan sejarah, emosi, dan makna. Universitas Amir Hamzah menjadi memori wahana kolektif masyarakat Sumatera Utara yang menautkan masa kolonial, masa kemerdekaan, dan masa kini dalam satu garis kontinuitas nilai. Di situlah pendidikan menjalankan fungsi sosialnya: menjaga ingatan bangsa agar tak tercerabut dari akar.”pungkasnya lagi.

Ditambahkan, UNAHAN bukan sekedar universitas, melainkan penegasan identitas, Ia berdiri sebagai jembatan antara tradisi dan modernitas, antara puisi dan praksis, antara ingatan dan cita – cita. Dalam nama Amir Hamzah, tersimpan pesan pilosofis: bahwa bangsa yang ingin maju tidak boleh melupakan sejarahnya. Sebab, hanya dengan menjaga ingatan kolektif, universitas dapat menjadi merecusuar yang menuntun masyarakat menuju masa depan yang berakar dan bermartabat.”ujarnya

Diceritakan nya, “Pada masa awal berdirinya, Universitas Amir Hamzah tampil sederhana. Bangunannya terbuat dari papan dan tripleks, namun semangat nya setinggi langit. Masyarakat ikut bergotong royong —- membawa pasir, batu, bahkan sumbangan bahan bangunan—-menjadikannya sebagai gerakan sosial pendidikan. Kampus ini tumbuh perlahan, dengan program studi pertama di bidang keguruan, hukum , dan ekonomi. Dosen – dosennya datang dari berbagai latar belakang, banyak diantaranya dosen paruh waktu dari UNIMED dan USU. Dari ruang kuliah sederhana lahirlah generasi pertama sarjana rakyat.”ungkapnya lagi

Ditambahkannya lagi, “Selama dua dekade pertama, UNAHAN berperan penting dalam menyebarkan pendidikan tinggi di kawasan timur Medan. Ia membuka akses bagi anak – anak kelas menengah kebawah untuk kuliah, sekaligus memperkuat ekosistem sosial di kawasan pancing, Medan Estate, dan sekitar nya. Lalu, Dari universitas inilah banyak muncul guru,aktivis sosial, birokrat hingga profesional yang menempuh jalan kareir berkat pendidikan yang mereka peroleh disana. Dalam pandangan sosiologis, UNAHAN menjadi agen mobilitas sosial vertikal—membuka ruang bagi masyarakat untuk mengubah nasib melalui ilmu pengetahuan.”pungkasnya lagi.

Namun, kata beliau dalam tulisannya, memasuki era 1990 – an, idealisme awal mulai mengguncang fondasi idealisme Universitas Amir Hamzah. Pergeseran menajemen di tubuh yayasan membuka ruang konflik kepentingan yang berujung pada dugaan penyimpangan aset. Lahan yang semula di alokasikan pemerintah untuk pungsi sosial—-yakni pendidikan tinggi—–mulai berpindah dalam Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara yang mendistribusikan lahan Eks – HGU tersebut, tertulis tegas bahwa tanah boleh digunakan untuk tujuan pendidikan dan harus di kembalikan kepada negara bila menyimpang dari peruntukannya. Masalah ini bukan sekedar administratif, melainkan menyentuh tanah hukum publik dan moral negara. Lahan Eks – HGU merupakan aset negara yang bersumber dari kekayaan publik dan hanya dititipkan untuk pengelolaan fungsi sosial. Ketika hak tersebut di jadikan objek transaksi komersial tanpa dasar hukum yang sah, maka tindakan itu berpotensi menjadi bentuk penggelapan aset negara, sebagai mana di atur dalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang – Undang Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) yang menjerat siapa pun yang menyalah gunakan kewenangan untuk memperkaya diri atau pun orang lain dan merugikan keuangan negara.”urainya dalam pesan WhatsApp ke redaktur.

Katanya lagi, Dalam perspektif hukum agraria, perbuatan tersebut bertentangan langsung dengan Pasal 2 dan Pasal 6 Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA)1960, yang menegaskan bahwa bumi dan air dikuasai oleh negara untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat serta memiliki fungsi sosial. Tanah pendidikan tidak dapat di alihkan , dijual, atau di gadaikan karena keberadaan nya menyangkut kepentingan umum. Dalam berbagai yudisprudensi Mahkamah Agung, termasuk putusan MA No. 2109 K/Pdt/ 2008, ditegaskan bahwa tanah yang diperuntukkan untuk kepentingan sosial tidak dapat diperjualbelikan sekalipun di kelola oleh yayasan .

Prinsipnya jelas, tanah pendidikan bukan komoditas melainkan amanah kehilangan kesadaran hukum dan menjadikan tanah sebagai instrumen ekonomi, maka yang tergerus bukan hanya aset negara, tetapi juga kepercayaan publik terhadap dunia akademik. Universitas, yang seharusnya menjadi penjaga rasionalitas dan moral publik, justru beresiko menjadi pelaku pelanggaran hukum yang mengikis nilai sosial pendidikan itu sendiri. Di sinilah hukum agraria mengingatkan bahwa hak menguasai negara bukan untuk di diperjualbelikan, melainkan untuk menjamin keadilan sosial bagi generasi yang akan datang.

Setelah kepemimpinan berganti, universitas mengalami pasang surut.
Sebagian masyarakat menilai yayasan kehilangan semangat pendiriannya.
Alumni dan warga sekitar menyesalkan langkah penjualan yang mereka anggap mencederai jiwa sosial universitas.

Dampaknya terasa nyata : fasilitas kampus semakin terbatas, infrastruktur memburuk, dan citra universitas menurun.Dari lahan awal yang luas, kini diduga tersisa sekitar 25 persen lagi. Namun ditengah keterbatasan itu masih ada dosen dan mahasiswa yang mempertahankan idialisme awal : menjadikan pendidikan sebagai pengabdian.

Dalam konteks sosial — budaya Universitas Amir Hamzah tetap menyimpan kekuatan simbolik. Ia menjadi ruang memori bagi masyarakat yang pernah menyaksikan gotong – royong pendiriannya. Dalam istilah Jan Assmann, memori kolektif adalah” modal simbolik” —– yang, jika dijaga, bisa menjadi energi moral bagi generasi.

Maka, upaya membenahi universitas ini tidak semata urusan hukum atau administrasi, melainkan rekonstruksi nilai. Negara, akademisi, dan alumni perlu bersama sama menghidupkan kembali etos perjuangan Raja Syahnan :
menjadikan pendidikan sebagai warisan, bukan warisan yang diperjualbelikan.

Universitas ini dapat bangkit kembali jika mampu menata ulang tata kelola aset, memulihkan fungsi tanah pendidikan, dan meneguhkan komikmen Tri Dharma Perguruan Tinggi. Disitulah letak legitimasi moral dari keberadaannya: menjadi universitas yang lahir dari rakyat dan kembali untuk rakyat.

Kesimpulan menurut nya, “Universitas Amir Hamzah Medan bukan sekedar insitusi, tetapi ingatan hidup tentang idialisme dan pengabdian. Dari Raja Syahnan hingga masyarakat sekitar, semua menorehkan sejarah yang membentuk memori kolektif Sumatera Utara. Kini tantangan terbesar bukan hanya mempertahankan nama, tetapi menghidupkan kembali makna. Sebab, universitas yang melupakan asalnya akan kehilangan jiwanya——-sementara yang menjaga kolektifnya masyarakat adat melayu akan terus memberikan cahaya bagi masa depan pendidikan Indonesia.”Tutup M.Taufik Umar Dani Harahap.

(MSN)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Video Singkat

IKLAN

spot_imgspot_img
spot_imgspot_img
spot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments