Garisdata.com l Medan –Forum Penyelamat USU (FP-USU)~Hujan deras yang mengguyur Medan akhir-akhir ini kembali mempermalukan Universitas Sumatera Utara (USU)—bukan akibat limpahan air dari luar kampus, melainkan kubangan besar di USU yang justru terbentuk di dalam kawasan akademik sendiri, seolah menegaskan gagalnya fungsi kolam retensi yang dibangun dengan anggaran besar dan janji megah.

Alih-alih menjadi solusi, kolam itu berubah menjadi simbol tata kelola yang amburadul: air tetap meluap, drainase tak bekerja, dan kompleks kampus saban hujan menjelma menjadi arena banjir yang merendahkan martabat institusi yang selama ini diklaim sebagai barometer keilmuan di Sumatera Utara.
Proyek yang seharusnya menjadi langkah adaptasi perubahan iklim justru tampil seperti eksperimen gagal—tanpa perencanaan matang, tanpa pengawasan profesional, dan tanpa transparansi—meninggalkan pertanyaan mendasar: apakah USU sedang membangun infrastruktur akademik, atau sekadar menambah daftar monumen ketidakbecusan yang lahir dari tata kelola yang rapuh dan jauh dari akuntabilitas publik?
Kolam retensi USU sebelumnya dielu-elukan sebagai langkah modern kampus menghadapi ancaman banjir kawasan Jalan Dr. Mansyur. Narasi besarnya indah: infrastruktur hijau, konservasi air, dan adaptasi perubahan iklim.
Namun fakta di lapangan menunjukkan sesuatu yang jauh berbeda. Alih-alih menjadi perangkat pengendali limpasan air, kolam itu seperti “ember bocor” yang tidak pernah benar-benar bekerja atau gagal fungsi.
Saat hujan deras turun, air bukan mengalir menuju kolam retensi, tetapi justru menggenangi halaman-halaman fakultas, jalan kampus, hingga ruang publik yang dipenuhi mahasiswa. Sebuah ironi yang hanya mungkin terjadi ketika perencanaan dikerjakan dengan konsep setengah matang dan pengawasan yang sebatas formalitas dan ‘akal-akalan’, tangkas taufik.
FP USU, Ketika publik bertanya, “Mengapa banjir ini terus berulang?”, jawabannya justru mengarah pada sesuatu yang lebih struktural: tata kelola proyek yang buruk.
Indikasi salah desain terlihat dari ketinggian bibir kolam yang tidak sejalan dengan kontur kawasan, saluran drainase yang tidak terhubung secara efektif, hingga penggunaan material yang dipertanyakan.
Lebih jauh dari itu, pembahasan anggaran pembangunan kolam retensi sejak awal tak pernah benar-benar transparan.
Sorotan mengarah pada dugaan bancakan anggaran: spesifikasi yang berubah-ubah, kontraktor yang ditunjuk tanpa penjelasan publik memadai, hingga laporan progres yang tidak pernah diumumkan secara terbuka. Semua itu memperkuat dugaan bahwa proyek ini lebih menonjolkan kepentingan pihak tertentu daripada kebutuhan kampus.
Dampaknya terhadap mahasiswa dan sivitas akademika tidak sepele. Kegiatan akademik terganggu, mobilitas kampus kacau, dan kompleks fakultas mirip daerah rawan banjir setiap musim hujan.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman untuk menuntut ilmu justru memaksa mahasiswa “berlayar” melewati genangan.
Situasi ini memperburuk citra USU di mata publik—sebuah citra yang dalam beberapa tahun terakhir memang terus merosot akibat rangkaian kontroversi, mulai dari tata kelola pilrek hingga proyek-proyek fisik yang kerap menuai pertanyaan publik. Kolam retensi hanyalah satu potongan dari puzzle besar: kampus yang gagal mengelola dirinya sendiri,terang Taufik, di Jalan Sutomo Medan.
Persoalannya bukan sekadar urusan konstruksi yang gagal fungsi, tetapi soal etika penggunaan anggaran publik. Sebagai perguruan tinggi negeri, setiap rupiah yang digunakan kampus adalah bagian dari akuntabilitas negara.
Maka pertanyaan yang paling mendesak adalah: apakah proyek kolam retensi USU sejak awal didesain untuk menanggulangi banjir, atau justru untuk mengakomodasi kepentingan ekonomi-politik kelompok tertentu? Ketika hasilnya gagal, publik berhak bertanya: siapa yang harus bertanggung jawab?
Di tengah tuntutan reformasi tata kelola perguruan tinggi, kasus ini menjadi cermin betapa pentingnya integritas, profesionaitas, akuntabilitas dan kejelasan prosedur.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang etis justru terjerat praktik tak transparan yang biasa ditemukan dalam proyek pemerintah daerah.
Jika USU ingin memulihkan martabatnya, langkah pertama adalah membuka seluruh dokumen perencanaan, anggaran, dan pelaksanaan proyek kepada publik.
Tanpa itu, setiap pembangunan baru akan selalu dicurigai sebagai bagian dari pola lama: proyek gagal fungsi yang menutup peluang akademik, tetapi membuka ruang bancakan bagi segelintir orang,tegas Taufik.
Kolam retensi USU bukan sekadar kolam. Ia adalah simbol: simbol kampus yang terjebak dalam banjir struktural yang bernama korupsi, salah urus, dan krisis kepemimpinan.
Dan setiap kali hujan turun, simbol itu kembali mengingatkan bahwa persoalan terbesar USU bukanlah air yang meluap—melainkan integritas yang mengering, ujar Taufik.
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap,SH Ketua Forum Penyelamat USU
(Red)





