Medan,Garisdata-Com-
Polemik pemilihan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) kembali memanas setelah Majelis Wali Amanat (MWA) akan menggelar rapat tertutup pada 18 November 2025 di gedung Imigrasi, Jakarta. Keputusan tempat yang tak lazim ini menimbulkan dugaan kuat bahwa proses pemilihan rektor dilakukan secara tidak transparan dan keluar dari prinsip tata kelola perguaruan tinggi yang baik.
Forum Penyelamat USU ( FP – USU) menilai tindakan MWA tersebut bertentangan dengan mandat statuta USU yang secara ekspilit mengatur bahwa setiap proses pemilihan rektor wajib menjunjung asas akuntabilitas dan ketertiban dan keterbukaan. Sebagai lembaga publik yang dibiayai APBN, USU memiliki tanggung jawab khusus untuk memastikan seluruh proses rekrutmen pimpinan dilakukan secara demokratis.
Dalam pasal (25) Statuta USU, pemilihan rektor di tegaskan harus berlangsung demokratis, partisipatif dan akuntabel. Rapat tertutup tanpa pemberitahuan kepada kepada civitas academica melemahkan perinsip ini. Bahkan, keputusan berkumpul di luar kampus, terlebih gedung pemerintahan yang tidak terkait dengan pendidikan tinggi, memperkuat dugaan bahwa MWA ingin menghindari pengawasan publik.
Ketua FP – USU, Taufik Harahap, menegaskan bahwa rektor adalah jabatan publik dalam lingkungan perguruan tinggi. Karena itu, semua proses pemilihan nya harus terbuka, dapat diawasi, dan berpedoman pada asas Luber – Jurdil yang menjadi stantar demokrasi minimal. Pengabaian prinsip ini justru menyebut USU pada pembiaran legitimasi.
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi juga mempertegas kewajiban transparansi dalam pemilihan rektor.UU ini memberikan ruang bagi publik untuk mengetahui, mengawasi dan mengevaluasi proses kepemimpinan perguruan tinggi, sebagai wujud pengendalian terhadap penggunaan anggaran negara dan penjaminan mutu akademik.
Dalam perspektif hukum, administasi, tindakan MWA patut di pertanyakan karena melibatkan pemindahan locus
keputusan ketempat yang tidak memiliki hubungan fungsional maupun yuridis dengan kewenangan pemilihan rektor.
Hal ini mempersempit ruang kontrol publik dan berpotensi masuk kategori mal administrasi.
FP – USU menilai keputusan MWA semakin meresahkan ketika proses pemilihan rektor beririsan dengan isi integritassalah satu calon. Muryanto Amin, misalnya, pernah dinyatakan plagiat oleh rektor USU saat itu, Prof. Runtung sitepu. Selain itu nama nya kembali mencuat dalam lingkaran kasus korupsi OTT Topan O Ginting yang di tangani KPK. Hingga kini tidak ada klarifikasi resmi atas dugaan tersebut.
Kondisi ini menimbulkan kehawatiran bahwa proses pemilihan rektor tidak hanya tertutup, tetapi juga tidak sensitif terhadap rekan jejak etik para calon.Publik berhak mengetahutahui apakah standar integritas benar – benar menjadi pertimbangan utama MWA dalam menentukan pimpinan USU kedepan.
Dari aspek yudisprundensi, putusan Mahkamah Agung RI Nomor 117 PK/ Pid. Sus / 2013 menegaskan bahwa seluruh kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan publik wajib dilakukan secara terbuka. Pemilihan rektor sebagai jabatan publik di lingkungan akademik jelas termasuk dalam kategori ini.
FP – USU menilai MWA gagal melaksakan perinsip good governance,terutama keterbukaan informasi publik sebagaimana di atur dalam UU no 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pemilihan diruang tertutup, tanpan akses sebagai civitas, academica, bertentangan dengan kewajiban teransparansi dan dapat di kategorikan sebagai penyembunyian informasi publik.
Selain itu, proses pemilihan MWA dan senat Akademik sendiri sebelum nya telah mendapat kritik karena dianggap tidak demokratis. Hal ini memperburuk persebai publik bahwa pemilihan rektor USU hanya formalitas yang dikendalikan oleh segelintir elit kampus.
MWA seharusnya menyadari bahwa legalitas moral dan akademik USU dipertaruhkan. Ketertutupan bukan hanya berpotensi melanggar hukum, tetapi juga menurunkan kepercayaan dosen, mahasiswa, alumni dan masyarakat luas terhadap kredibilitas Insitusi.
Transparansi dalam pemilihan rektor merupakan persyaratan terciptanya lingkungan akademik yang sehat dan berintegritas. MWA harus menunjukkan komitmen nyata untuk membuka seluruh proses terhadap publik dan mengedepankan prinsip meritokrasi.
Pengabaian prinsip transparansi berpotensi memicu gejolak internal kampus. Ketidakpuasan dosen, mahasiswa, dan alumni, dapat berkembang menjadi krisis kepercayaan yang mengganggu stabilitas akademik, menghambat kinerja universitas, dan mencoreng reputasi USU di tingkat nasional maupun internasional.
FP – USU menegaskan perlunya dialog terbuka antara MWA dan seluruh civitas academica. Proses pemilihan rektor tidak boleh berjalan secara elitis, melainkan harus melibatkan seluruh elemen pemangku kepentingan agar keputusan yang di hasilkan berlandaskan legitimasi publik.
Lebih tragis lagi, FP – USU mengungkapkan bahwa pada 18 November 2025 mereka telah menyampaikan laporan, klarifikasi dan pengaduan resmi kepada Inspektorat Jenderal Kemendistristek, baik secara lisan maupun tertulis. Namun hingga kini tidak ada respon formal. Ditengah laporan yang belum di tindak lanjuti , MWA justru mempercepat rapat pemilihan rektor di Gedung imigrasi.
Atas dasar itu, FP – USU tidak memandang tindakan MWA bukan hanya tidak etis, tapi juga mengabaikan aspek hukum, administrasi publik, dan akuntabilitas yang menjadi jiwa, Statuta USU. FP – USU menyerukan agar pemerintah pusat, civitas academica, dan publik segera mengawasi proses ini agar USU tidak terseret lebih jauh kedalam praktik tidak demokratis yang merusak integritas akademik.
(Red)





