Garisdata.com l Mandailing Natal– Fenomena enam Kepala Desa di Kecamatan Sinunukan, Mandailing Natal, yang tiba-tiba mengantongi kartu wartawan bukan sekadar anekdot pinggir daerah. Ini adalah cermin persoalan struktural yang lebih besar: retaknya etika pemerintahan desa dan melemahnya mekanisme kontrol dalam sistem birokrasi lokal.
Peran kepala desa dan wartawan sesungguhnya berdiri di dua sisi berbeda. Kepala desa adalah pelaksana kebijakan dan pengelola anggaran publik. Wartawan adalah pengawas kekuasaan dan penjaga transparansi.
Ketika kedua posisi ini dikembalikan pada satu individu yang sama, maka benturan kepentingan tidak bisa dihindari. Bahkan lebih jauh, pengawasan justru akan lumpuh sebelum dimulai.
Ketika Identitas Jurnalis Dijadikan Perisai Kekuasaan Secara hukum, tak ada larangan warga negara memiliki kartu pers. Namun waktu dan konteks menjadi kunci: mengapa semuanya terjadi setelah mereka menjabat sebagai kepala desa?
Pertanyaan ini menggantung di ruang publik, memicu kecurigaan bahwa profesi wartawan dijadikan “payung perlindungan” untuk menghalau pemeriksaan, kritik, atau pengawasan dari lembaga resmi seperti Inspektorat.
Dalam sejumlah laporan, masyarakat dan penggiat sosial mengkhawatirkan munculnya pola baru: pejabat desa menggunakan atribut pers bukan untuk menjalankan fungsi jurnalistik, tetapi untuk memperkuat posisi tawar ketika kebijakan dan anggaran mereka dipertanyakan.
Fenomena ini, bila dibiarkan, dapat merusak integritas lembaga pemerintahan desa dan mengaburkan batas antara kekuasaan publik dan peran pengawas publik.
Organisasi Desa dan Pendamping Desa Absen dari Ruang Etik Ketiadaan sikap dari organisasi resmi kepala desa — seperti FKKD dan APDESI — memperburuk keadaan. Padahal kedua lembaga tersebut memiliki mandat dan struktur yang jelas untuk membina dan memberi perlindungan hukum kepada para kepala desa.
Ketika organisasi formal bungkam, para kepala desa pun mencari perlindungan baru, walaupun secara etika dan regulasi hal tersebut melanggar prinsip good governance.
Pendamping desa, sebagai penopang teknis pembangunan dan tata kelola anggaran, juga tampak kehilangan peran dalam fenomena ini. Ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi menunjukkan adanya ruang kosong dalam sistem pembinaan pemerintahan desa.
Desa Membutuhkan Pengawasan Sehat, Bukan Kekuasaan yang Berlipat Masyarakat berhak atas transparansi. Desa berhak atas kepemimpinan yang fokus bekerja, bukan kepemimpinan yang menggandakan identitas demi memperkuat kekuasaan.
Jika kepala desa sekaligus menjadi wartawan, maka:
Siapa yang memeriksa pekerjaan mereka?
Siapa yang menulis kritik ketika ada penyimpangan?
Siapa yang menjaga integritas anggaran desa?
Dalam desain demokrasi, tidak ada ruang bagi pejabat publik menjadi pengawas dirinya sendiri. Sebab ketika kekuasaan bertemu dengan pena, kebenaran akan berada dalam posisi paling rentan.
Saatnya Pemerintah Daerah Bertindak
Fenomena di Sinunukan harus menjadi perhatian pemerintah kabupaten dan aparat pengawasan. Regulasi mengenai rangkap profesi pejabat desa perlu diperjelas dan ditegakkan. Organisasi desa harus menjalankan fungsi pembinaan yang nyata, bukan sekadar menjadi simbol struktural.
Jika gejala ini dibiarkan, bukan tidak mungkin fenomena serupa akan muncul di daerah lain.
Dan ketika itu terjadi, bukan hanya desa yang kehilangan transparansi — tetapi publik kehilangan kepercayaan.
Demokrasi di level terbawah membutuhkan akuntabilitas, bukan perlindungan tambahan bagi kekuasaan.(M.SN)





