Garisdata.com l Mandailing Natal— Gelombang pencitraan politik yang berlangsung secara masif dan terkoordinasi dalam beberapa minggu terakhir memantik kegelisahan publik. Beragam kalangan menilai langkah tersebut sudah jauh melewati batas kewajaran dan mengarah pada dugaan kuat adanya agenda membangun dinasti politik di tubuh pemerintahan daerah.
Artikel Terkait : KRIMINALISASI AKTIVIS OLEH BUPATI KAB. PAKPAK BHARAT & PENERAPAN UU ITE PASAL 27A/2024
Sejumlah tokoh masyarakat menilai pola yang terlihat sekarang bukan lagi sekadar strategi komunikasi pejabat publik, melainkan operasi politik yang dilakukan secara telanjang. Kegiatan pemerintahan yang semestinya fokus pada pelayanan masyarakat dinilai berubah menjadi panggung promosi bagi figur tertentu yang memiliki kedekatan dengan lingkar kekuasaan.
“Ini sudah vulgar. Pencitraannya bukan biasa-biasa lagi. Terasa sekali ada upaya menciptakan ‘penerus’ yang dipaksakan melalui fasilitas negara. Kalau ini bukan tanda-tanda dinasti politik, lalu apa?” tegas seorang aktivis reformasi yang ikut memantau perkembangan di daerah.
Menurutnya, tindakan seperti ini merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan yang merusak tatanan demokrasi lokal. Ia menilai masyarakat harus segera mengambil sikap tegas dan tidak membiarkan praktik kekuasaan diwariskan secara halus melalui skenario pencitraan berulang.
Baca Lagi : Aktivitas Tong Emas Diduga Ilegal Mencuat, Satma AMPI Madina Ambil Langkah Hukum
Kemarahan publik juga makin tampak dari pernyataan berbagai kelompok masyarakat yang menyerukan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan yang dianggap gagal menjaga etika demokrasi. Mereka menilai upaya menyeret masyarakat ke dalam drama pencitraan politik adalah penghinaan terhadap kecerdasan publik.
“Rakyat Madina bukan rakyat yang mudah dibodohi. Kalau pemerintah mau membangun dinasti, kami yang pertama menolaknya. Kami siap menyatakan mosi tidak percaya,” ujar tokoh pemuda dari wilayah Pantai Barat.
Kelompok masyarakat sipil juga menekan lembaga pengawas untuk tidak tutup mata. Mereka mendesak Bawaslu, kepolisian, serta lembaga hukum lainnya untuk mengawasi ketat kegiatan pejabat publik yang diduga telah dipolitisasi. Penggunaan anggaran negara atau fasilitas pemerintah untuk kepentingan keluarga politik dianggap sebagai pelanggaran serius dan harus ditindak.
Baca Lainnya : KRIMINALISASI AKTIVIS OLEH BUPATI KAB. PAKPAK BHARAT & PENERAPAN UU ITE PASAL 27A/2024
“Jangan tunggu gaduh dulu. Pelanggaran etika ini sudah di depan mata. Penegak hukum jangan pura-pura tidak melihat,” kata seorang pemerhati kebijakan publik.
Warga di sejumlah kecamatan juga menyampaikan keresahan serupa. Mereka menilai praktik pencitraan berlebihan hanya akan mengalihkan perhatian dari masalah-masalah mendesak seperti infrastruktur rusak, bencana alam berulang, dan pelayanan publik yang belum optimal.
“Jangan sibukkan kami dengan poster, baliho, dan acara seremonial. Urus daerah ini dulu. Jangan sibuk memoles calon penerus seolah kekuasaan itu warisan keluarga,” ujar seorang warga di Kecamatan Pakantan.
Dengan meningkatnya kritik dan tekanan publik, isu dugaan dinasti politik diprediksi akan menjadi salah satu persoalan paling panas dalam dinamika politik daerah ke depan. Berbagai kelompok menegaskan bahwa pencitraan yang menjurus pada pewarisan kekuasaan harus dihentikan demi menjaga kehormatan demokrasi lokal dan mencegah kembalinya politik feodal yang selama ini ditolak masyarakat.
(M.SN)





