KRIMINALISASI AKTIVIS OLEH BUPATI KAB. PAKPAK BHARAT & PENERAPAN UU ITE PASAL 27A/2024
Oleh: Anna Martyna Sinamo
Di tengah semangat demokrasi yang seharusnya melindungi hak berpendapat dan berekspresi, kasus kriminalisasi terhadap aktivis di Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, menjadi sorotan ditengah bencana tanah longsor dan rencana revisi perubahan tapal batas Kab. Dairi dan Pakpak dalam rangka pendirian Batalyon 908.
Peristiwa ini berawal dari aksi damai bertajuk “Kandang Ayam” pada 6 November 2023, yang digelar oleh Gabungan Masyarakat Pakpak Bharat di kompleks DPRD setempat. Aksi tersebut merupakan bentuk penyampaian aspirasi masyarakat terhadap berbagai isu lokal, termasuk tuntutan pembatalan hasil pemilihan kepala desa di Tanjung Meriah, pencegahan pelantikan kepala desa dengan hasil suara bermasalah, serta penolakan pengadaan kendaraan dinas baru untuk bupati dan camat. Secara khusus, para orator menyoroti keberadaan “kandang ayam” di kantor bupati dan pendopo, yang dianggap tidak pantas dan logis, karena di masyarakat Pakpak “ranjang manuk” seharusnya di belakang rumah bukan di pintu rumah/kantor, karena bau dan tidak menunjukkan kearifan lokal Pakpak.
Aksi damai itu dihadiri oleh tokoh masyarakat seperti Drs. Zulkarnaen Berutu, Juniper Pildo Sinamo, Salman Berutu, Amir Solin dan Yudhika Kdemmun Banurea. Respons pemerintah daerah datang melalui surat dari Sekretaris Daerah (Sekda) Jalan Berutu atas nama Bupati Franc Bernhard Tumanggor, yang dibacakan oleh Ketua DPRD Hotma Ramles Tumangger pada 9 November 2023.
Surat tersebut menolak sebagian besar tuntutan, dengan alasan bahwa proses pemilihan desa telah sesuai regulasi, dan pengadaan kendaraan dinas masih dalam tahap pertimbangan bersama DPRD. Meski demikian, para aktivis merasa banyak tuntutan belum terjawab sepenuhnya, termasuk isu “kandang ayam” yang menjadi ikon protes mereka.
Untuk diketahui, sejak terpilihnya FBT menjadi Bupati Pakpak Bharat, tidak sekalipun dia hadir untuk menemui aktivis yang seringkali mengkritik kebijakannya yang dinilai tidak pro pada rakyat, seperti pengalihan 2928 Ha lahan FE, illegal loging di hutan lindung, bahkan diduga bupati adalah pihak yang berada dibalik revisi Permendagri No 28 Tahun 2019 tentang batas wilayah administratif Kab. Dairi dan Pakpak Bharat yang akan mengurangi wilayah Pakpak Bharat seluas 100.000 ha, demi ambisi terbentuknya Provinsi Toba Raya yang digadang-gadang oleh LBP.
Semua orang orang tau kedekatan keluarga Bupati PPB yang sangat akrab dengan LBP dan bahkan diduga ayahnya MPT rela menjadi bumper kepada LBP melalui berbagai kasus salah satunya adalah kasus Mafia Minyak goreng yang membawanya ke balik jeruji besi.
Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 2025, Bupati Kabupaten Pakpak Bharat melaporkan para aktivis terkait aksi tersebut ke pihak berwenang. Laporan ini didasarkan pada dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27A tahun 2024, yang merupakan bagian dari revisi UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008. Pasal 27A mengatur tentang pencemaran nama baik atau fitnah melalui media elektronik, dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara atau denda hingga Rp750 juta. Namun, pasal ini dirancang untuk tidak memungkinkan penahanan pra-peradilan kecuali dalam kasus tertentu, karena ancamannya di bawah 5 tahun, sesuai prinsip reformasi hukum yang menekankan pencegahan kriminalisasi berlebih.
Puncaknya, pada 27 November 2025, para aktivis dipanggil oleh Polda Sumatera Utara untuk dimintai keterangan. Panggilan ini disertai tekanan agar laporan ditindaklanjuti, meski kasus berasal dari aksi damai yang dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa UU ITE, meski telah direvisi untuk mengurangi pasal karet, masih dimanfaatkan oleh pejabat publik untuk membungkam kritik.
Pelaporan dan pemanggilan aktivis ini oleh Polda Sumut, sebenarnya adalah untuk membungkam dan mengkriminalisasi para aktivis terkait dengan pendirian Batalyon dan penolakan revisi Permendagri No 28 Tahun 2019 yang dianggap menganggu, karena para aktivis ini juga lah yang bergerak sebagai aktivis ketika Sortagiri dan Graha Suku Pakpak melakukan demo pada 20 November yang lalu, di DPRD, Kantor Bupati dan Polres Pakpak Bharat yang menuntuk agar pemerintah PBB tidak melakukan revisi Permendagri tersebut dan mengubah nama Batalyon 906 dan 908 harus sesuai kearifan lokal Suku Pakpak.
Kasus ini bukan yang pertama di Indonesia. Revisi UU ITE pada 2024 bertujuan membatasi penyalahgunaan pasal pencemaran nama baik (sebelumnya Pasal 27 ayat 3), dengan menambahkan elemen “merugikan” yang harus dibuktikan. Namun, praktik kriminalisasi aktivis tetap marak, seperti kasus serupa di daerah lain di mana pejabat melaporkan warga atas kritik di media sosial.
Di Pakpak Bharat, laporan bupati ini bisa dilihat sebagai upaya membela citra pribadi, padahal aksi “Kandang Ayam” adalah bentuk kontrol sosial yang sah.
Masyarakat sipil dan pegiat hak asasi manusia diharapkan terus memantau kasus ini. Jika terbukti sebagai kriminalisasi, hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal.
Polda Sumut seharusnya menilai apakah laporan memenuhi unsur pidana atau hanya delik aduan yang bisa diselesaikan secara damai. Pada akhirnya, kebebasan berekspresi harus diutamakan, agar suara rakyat tidak lagi dibungkam oleh kekuasaan.
Update Pasca-Panggilan ke Polda Sumut (28 November 2025)
Sehari setelah pemanggilan para aktivis ke Polda Sumatera Utara pada 27 November 2025, situasi di Kabupaten Pakpak Bharat masih tegang. Berdasarkan informasi terkini, para aktivis yang dipanggil, termasuk Drs. Zulkarnaen Berutu dan rekan-rekannya, telah memberikan keterangan selama beberapa jam. Mereka menyatakan bahwa proses tersebut berlangsung secara kooperatif, meski ada nuansa intimidasi dari pihak pelapor.
Aktivis menekankan bahwa aksi mereka pada 2023 hanyalah penyampaian aspirasi damai tanpa unsur pencemaran nama baik, apalagi melalui media elektronik secara langsung. Namun, laporan bupati diduga berbasis pada rekaman atau postingan media sosial yang mendokumentasikan aksi tersebut, yang kemudian diinterpretasikan sebagai fitnah.
Reaksi dari masyarakat lokal mulai bermunculan. Beberapa kelompok masyarakat sipil di Sumut, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) cabang regional dan Komunitas Hukum dan HAM Sumatera, telah menyatakan dukungan mereka terhadap para aktivis. Mereka menyerukan agar Polda Sumut menolak laporan tersebut karena tidak memenuhi unsur “merugikan” sebagaimana diatur dalam Pasal 27A UU ITE 2024. Selain itu, petisi online mulai beredar di platform media sosial, menuntut transparansi dalam penanganan kasus ini dan penghentian segala bentuk kriminalisasi terhadap suara kritis.
Dari sisi hukum, pakar hukum pidana seperti Dr. Budi Santoso dari Universitas Sumatera Utara menganalisis bahwa kasus ini berpotensi gugur di tahap penyidikan jika tidak ada bukti kuat tentang kerugian material atau immaterial yang dialami bupati. “UU ITE revisi 2024 justru dimaksudkan untuk melindungi kebebasan berekspresi, bukan menjadi alat pembungkam,” ujarnya dalam wawancara terbaru. Namun, jika kasus ini berlanjut ke pengadilan, bisa memakan waktu berbulan-bulan dan menimbulkan beban psikologis bagi para aktivis.
Implikasi lebih luas dari kasus ini adalah erosi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Di Pakpak Bharat, yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat adat Pakpak, isu seperti ini bisa memicu polarisasi sosial. Proyek “kandang ayam” yang menjadi pemicu awal, meski mungkin dimaksudkan sebagai bentuk protes terhadap ketidakpantasan kandang ayam di depan rumah/kantor pada kearifan lokal Pakpak dianggap adalah bentuk ketidakpekaan Bupati terhadap perasaan masyarakat hukum adat Pakpak.
Untuk mencegah kasus serupa, diperlukan langkah-langkah konkret. Pertama, pemerintah pusat melalui Kementerian Hukum dan HAM harus memperkuat sosialisasi UU ITE revisi agar pejabat daerah tidak menyalahgunakannya. Kedua, lembaga seperti Komnas HAM bisa terlibat dalam mediasi untuk menyelesaikan konflik secara non-litigasi. Ketiga, masyarakat sipil perlu terus mengadvokasi melalui kampanye digital dan aksi damai, sambil memanfaatkan hak konstitusional mereka.
Kasus kriminalisasi aktivis di Pakpak Bharat ini menjadi pengingat bahwa demokrasi Indonesia masih rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Hanya dengan pengawasan bersama, kita bisa memastikan bahwa suara rakyat tetap terdengar tanpa rasa takut. Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya dari Polda Sumut, sambil berharap keadilan berpihak pada kebebasan berekspresi.
Salam Literasi yang Mengedukasi (Red.001)





